Melawan Pembajakan Piranti Lunak

Label: ,

Menyimak perkembangan legalisasi piranti lunak Indonesia amat memprihatinkan. Tingkat pembajakan di Indonesia rasanya sebanding dengan tingkat korupsinya. Jadi kira-kira index pembajakan dan korupsi di Indonesia kurang lebih setara. Angka pembajakan di Indonesia menurut studi IDC sebesar 85% dengan potensi kerugian sebesar US$544 juta pada 2008. Pembajakan ini dihitung dari semua potensi yang diakibatkan dari pembajakan merk, penggunaan ilegal, penggandaan ilegal dan penyebarluasan ilegal. Diantara yang paling rawan dan mudah dibajak adalah karya seni dan ilmu pengetahuan: musik, film, buku dan piranti lunak.

Kesadaran atas Pembajakan
Pembajakan selalu merugikan. Yang untung hanya pembajaknya. Dalam kasus piranti lunak, secara jangka panjang pengguna juga dirugikan. Tapi baiklah kita perlu berusaha lebih adil dan dekat dengan bumi dalam soal pembajakan piranti lunak. Kesadaran mengenai pembajakan piranti lunak Indonesia cukup rendah, karena yang terjadi di masyarakat adalah ketidaktahuan, ketidakpedulian dan yang menyedihkan adalah kemalasan.

Ketidaktahuan umumnya karena soal melek komputer. Daya beli yang rendah menyebabkan tingkat penggunaan komputer di Indonesia masih rendah. Selain daya beli, ini juga berkait dengan kualitas pendidikan yang rendah secara rata-rata. Ketidaktahuan ini memicu ketaksadaran bahwa piranti lunak bisa tidak legal digunakan apabila tidak dimiliki dengan cara yang sah: membeli. Dari 200 juta lebih penduduk Indonesia, masih kurang dari seperenamnya yang melek komputer atau menggunakannya. Selain soal daya beli dan rendahnya kualitas pendidikan hal ini juga dipicu dengan kejutan budaya. Masyarakat Indonesia secara umum masih tertinggal dibanding bangsa-bangsa lain di dunia, akibatnya adalah ketaksiapan menerima perkembangan: kejutan-kejutan terutama dari teknologi. Bangsa-bangsa lain ada yang sudah pada budaya tulis yang mapan, bangsa Indonesia baru lahir seni sastranya: budaya menulisnya. Belum lagi koran menjadi teman baik, sudah hadir TV yang menjadi lebih dominan dari buku-buku. Belum lagi internet (yang berdasar budaya baca), sudah hadir ponsel yang lebih meriah konten-konten hiburannya. Akhirnya, melek komputer dari barang bajakan. Dan sebelum tahu, bahwa itu bajakan sudah terlanjur tak bisa bekerja kecuali dengan piranti lunak bajakan, dan hanya tahu bahwa komputer (kosong tanpa piranti lunak), seharusnya juga dijual dengan piranti lunak yang bisa digunakan tak perduli bagaimanapun cara mendapatkannya.

Ketidakperdulian umumnya terjadi karena keterdesakan (daya beli rendah sekali) dan kekuatiran bahwa produktifitas akan turun bila tak menggunakan piranti lunak tertentu, sambil tetap tak mau membayar hak penggunaannya. Hal ini tidak hanya terjadi pada bisnis skala kecil dan menengah, tapi juga terjadi pada bisnis skala yang lebih besar. Piranti lunak bajakan memang mudah didapatkan di pasar-pasar komputer resmi. Ketidakperdulian ini memicu penggunaan secara bebas piranti-piranti lunak secara ilegal tanpa berpikir secara jangka panjang soal akibatnya. Akibat bagi pengguna adalah hilangnya kesempatan mendapatkan dukungan atas penggunaan piranti lunak tersebut. Akibat bagi produsennya adalah kehilangan kesempatan memperoleh royalti hasil dari piranti lunak yang dikembangkannya.

Kemalasan adalah masalah utama bagi bangsa yang hidup di iklim tropis yang melenakan ini. Masalah kemalasan ini terutama berpangkal pada kemanjaan hidup di lingkungan yang serba mudah, kualitas pendidikan yang rendah dan minder kompleks yang parah. Secara kelirumologi, hal ini adalah pengetahuan berdasar atas mitos dan konsepsi yang keliru tentang diri sendiri di hadapan bangsa-bangsa lain. Akibatnya, yang datang dari luar bangsa (teknologi utamanya) selalu dianggap lebih canggih. Itu dominan terjadi di dunia piranti lunak. Padahal di dunia seni sudah tidak demikian. Musik terutama, adalah baris terdepan yang bisa mengklaim diri sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Film merangkak, buku sebenarnya punya peluang bagus tapi produksinya rendah, industri kerajinan tak kalah dengan musik. Kemalasan menyebabkan orang tidak mau membayar penggunaan piranti lunak, tapi juga tidak mau mencari alternatifnya. Padahal sudah banyak alternatif yang tidak hanya murah, tapi bahkan bebas secara legal digunakan, bisa ditemukan.

Stop Pembajakan Piranti Lunak
Nah, bagaimana melawan akar-akar pembajakan tersebut? Sampai saat ini, pendekatan hukum yang mengemuka, yang lucunya penegak hukumnya sendiri masih secara bebas menggunakan piranti lunak bajakan, tanpa menyadarinya atau bahkan tidak meperdulikannya. Seakan penegakan hukum itu, bagi penegak hukum akan membebaskan mereka dari ketaklegalan piranti lunak yang mereka gunakan di kantor-kantor mereka. Business Software Alliance (BSA), termasuk yang secara lucu mengejar para pengguna piranti lunak bajakan. Padahal yang seharusnya dikejar barangkali lebih tepat adalah para pembajaknya, pengganda ilegal yang menjual dan memproduksi salinan piranti-piranti lunak yang beredar di Indonesia secara tidak sah. BSA tampaknya seperti sengaja melakukannya. Selain tebang pilih, aksinya hanya seperti tukang gerebek.

Pendidikan adalah cara utama memerangi pembajakan. Akan butuh waktu lama, tapi pendidikan akan meningkatkan kesadaran tentang hak atas kekayaan intelektual. Pengembang piranti lunak berhak mendapatkan hasil jerih payah atas apa yang telah dikembangkannya (yang tentu juga dengan alat pengembang yang legal pula). Pendidikan tak akan membuat orang berhenti membajak, tapi menginspirasi orang untuk berhenti menggunakan barang bajakan. Pendeknya semakin lama semakin jauh dari menggunakan piranti lunak bajakan. Bagaimana?

Saya sendiri secara pribadi bukan termasuk yang suka dengan mengutip ongkos lisensi penggunaan pada orang yang menggunakan piranti lunak yang kita kembangkan. Tapi mengutip ongkos lisensi itu pun adalah cara yang sah dan legal. Untuk kasus Indonesia di sisi lain, juga menyebabkan orang tak mampu membayar apapun yang berlisensi mahal sedikit. Maka perlu ada alternatif-alternatif atas lisensi barang bajakan ini. Alternatif-alternatif ini tidak akan kita dapatkan informasinya dari BSA, ah tentu saja.

Opensource
Diantara alternatif yang paling populer adalah penggunaan piranti lunak opensource. Ada banyak macam lisensi penggunaan piranti lunak opensource, tapi pada dasarnya semua mengacu pada penggunaan dan atau pengembangan secara bebas piranti lunak. Penggunaan piranti lunak opensource sangat tepat untuk kondisi Indonesia. Banyak perdebatan soal opensource vs piranti lunak berbayar, yang meski muara sebenarnya bukan hanya soal ongkos, tapi Indonesia jelas lebih tepat memilih piranti lunak yang memikirkan secara jangka pendek dan panjang atas dasar perhitungan Total Biaya Kepemilikan - TBK (Total Cost of Ownership - TCO).

Filosofi umum tentang perngkat lunak opensource alamiah sekali, yaitu bahwa semua yang diturunkan dari ilmu pengetahuan manusia harus bisa dikembalikan kepada manusia secara bebas. Dan bahwa apa yang telah kita dapat dari membeli atau diberi orang lain, dapat kita kembangkan lagi, kita jual, kita bagi atau kita simpan sendiri secara bebas. Hal-hal seperti ini tidak kita dapatkan pada piranti lunak berlisensi bayar.


Salah satu piranti lunak opensource yang populer adalah sistem operasi Linux. Linux meski dimulai oleh seorang Linus Torvalds, tetapi Linux yang ada hari ini dikembangkan oleh komunitas besar pengembang piranti lunak yang lebih besar dari jumlah pengembang piranti lunak perusahaan piranti lunak manapun di dunia. Saat ini Linux bahkan sudah berkembang menjadi ratusan distribusi untuk berbagai macam kebutuhan, tidak hanya untuk solusi personal tetapi juga korporasi bahkan manufaktur.

Kesadaran tentang keberadaan opensource ini harus terus ditingkatkan. Butuh dukungan semua pihak di Indonesia. Sayangnya tak satupun pemimpin negeri atau calon pemimpin negeri yang perduli soal ini. Sementara negara sebesar China atau negara-negara latin yang kondisinya tak jauh dengan Indonesia, terus memupuk kesadaran bangsanya tentang opensource, Indonesia malah sudah punya gerakan IGOS (Indonesia Goes Opensource) yang populer hanya di kalangan tertentu dan penggiat IGOS saja. Mengapa negara-negara lain menjadi peminat opensource. Dari kepentingan negara tentu bukan hanya soal TBK, tapi juga soal kemandirian. Faktanya piranti lunak berlisensi bayar sebagian besar berasal dari negara-negara maju.

Butuh lebih dari sekedar kampanye penggunaan piranti lunak opensource, yang lebih tepat adalah keteladanan, terutama dari pemerintah. Misalnya adalah penerapan penggunaan piranti lunak opensource di lingkungan pemerintahan. Andaikan Bapak Menteri Komunikasi dan Informasi sendiri selalu menggunakan opensource, sebagaimana menteri yang mengurusi hal ini di negara Columbia, nun jauh di Amerika latin sana.

Piranti Lunak Berbasis Layanan
Meski internet baru bisa dinikmati sebagian lagi orang Indonesia yang melek komputer, tapi kemajuan jangkauan telekomunikasi justru membuat lebih cepat dan lebih banyak orang bersentuhan dengan Internet. Dengan begitu sebenarnya secara tidak sadar orang sudah bersentuhan dengan Cloud Computing. Cloud Computing umumnya terdiri dari piranti lunak yang dikembangkan dengan basis layanan. Piranti lunak berbasis layanan memilki arah yang sepintas beda dengan piranti lunak personal yang biasa.

Piranti lunak berbasis layanan biasanya punya kata kunci keterhubungann. Setelah konektifitas, maka sebuah layanan bisa terhubung dengan banyak layanan yang lainnya, yang tersedia umumnya juga secara bebas. Ketersediaan secara bebas ini sebenarnya tidak membuat layanan ini tidak menghasilkan apapun bagi pengembangnya, tapi model bisnisnya membuat pengembang dapat mengutip nilai lain dari kehadiran anggota baru pengguna layanan atau penggunaan layanan secara intensif, misalnya dari iklan dan layanan khusus.

Piranti lunak opensource juga bisa tersedia dalam bentuk layanan. Layanan tersebut dapat berupa perawatan, pembaruan rutin, penyediaan pembaruan paket-paket piranti lunak dan layanan-layanan premium lainnya. Model pengembangan bisnis piranti lunak opensource sedikit berbeda dengan piranti lunak berbasis layanan di Cloud Internet.

Pengrajin Piranti Lunak Mandiri
Cara lain adalah mendorong kemandirian langsung, yaitu pengembangan piranti lunak mandiri. Pada dasarnya dunia teknologi informasi dan piranti lunak punya banyak pintu. Pintu-pintu itu sekarang sudah terbuka. Diperlukan cara untuk mengaksesnya, tapi tak butuh tingkat pendidikan formal tertentu untuk itu. Semua orang yang punya kesempatan dapat melakukannya, mengaksesnya untuk mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan.

Dibutuhkan sumberdaya untuk mengembangkan sendiri piranti lunak yang kita butuhkan, yaitu referensi, alat pengembang, alat penguji dan para penguji. Rasanya tidak terlalu berlebihan jika saya katakan bahwa semua bisa ditarik dari Cloud, dari Internet. Percepatan pengembangan bisa dilakukan justru dengan memberikan lisensi opensource pada piranti lunak yang sedang kita kembangkan. Hal ini dapat mengundang, menarik dan membentuk komunitas pengembang lain dari belahan bumi manapun untuk bergabung mengembangkannya bersama-sama.

Piranti lunak bisa diperlakukan sebagai kerajinan. Seorang pengrajin pada dasarnya adalah seniman. Seni membutuhkan dedikasi tinggi dan semangat untuk menghasilkan karya yang bermutu tinggi. Bedanya karya seni bersifat ekspresi personal, kerajinan bisa bersifat massal dan dapat dimanfaatkan secara umum.

Sama seperti dimana pun, pengembangan perangkat lunak secara mandiri juga membutuhkan modal awal. Ada peran yang dapat dilakukan pemerintah yang lebih bersifat mendorong percepatan daripada hanya menggugah semangat. Selain penyediaan modal, sarana dan prasarana berupa infrastruktur murah, juga kebijakan yang lebih memihak. Kebijakan ini harus bisa memindahkan ketergantungan atas penggunaan piranti lunak impor yang berlisensi bayar, juga mengubah model lisensi bayar ke arah ongkos yang dihitung berdasar atas jasa layanan. Modelnya jelas mengarah ke segala sesuatu yang bersifat layanan.

Lalu apa?
Pilihannya terserah pada kita. Membayar harga piranti lunak pada pemiliknya adalah satu jalan. Tapi jalan legal tak harus membayar, meski juga tak harus menggunakan cara ilegal. Yang terpenting adalah kesadaran tentang legalitas. Penghargaan atas karya cipta amatlah penting. Bahkan pengembang opensource sejati amat memperhatikan penghargaan pada karya cipta. Meski tak harus membayar tapi opensource mengembangkan etika penggunaan atau pengembangan lanjut dengan mencantumkan pengembang sebelumnya atau mendonasikan sejumlah uang untuk pengembangan lanjut pada pengembang piranti lunak yang kita gunakan. Dari pemerintah, jika ada yang masih kita harapkan adalah kebijakan yang bersifat keteladanan seperti pengharusan penggunaan piranti linak dalam negeri di lingkungan pemerintahan dan pembangunan infrastruktur teknologi informasi yang murah dan terjangkau. Jadi sanksi hukum bagus-bagus saja (buat BSA), tapi pemberdayaan masyarakat lebih utama. BSA tak akan berkampanye soal kesadaran legalitas tanpa terkait dengan soal royalti atau harga sebuah piranti lunak. Melawan pembajakan bisa dengan tanpa membuat BSA untung sementara masyarakat terpenjara, terdenda atau berhenti berteknologi informasi. Lawan dengan kesadaran dan kemandirian.

Sumber : meta.wacana.net